Tentang Tabu dan Tidak Tabu

Rabu, 14 April 2010



"Ayo tutup matanya! Jangan buka sebelum dikasih aba-aba ya," seru ibu saya.
"Kenapa sih enggak boleh lihat? Emang dosa ya?" tanya saya penasaran.
"Ya enggak boleh lihat lah..Itu bukan untuk anak kecil, tabu!" timpal bapak saya.

Percakapan itu hingga kini masih terekam dalam kenangan saya ketika dulu liburan bersama keluarga ke New York, Amerika Serikat. Usia saya baru 13 tahun, kakak saya baru satu SMA sementara si bungsu baru genap 6 tahun. Jadi, wajar sekali kala itu orang tua saya menjaga betul pandangan mata kami anak-anaknya. Sepanjang jalan, di dalam taksi, orang tua kami sibuk memerintah anak-anaknya menutup mata setiap kali kami melewati papan iklan agak seronok.

Pemandangan kota New York tahun 80-an sudah terasa "heboh" bagi kami. Saat kami berjalan kaki, ibu tak henti memberi nasihat tiap kali kami berpapasan dengan wanita berpakaian minim yang memperlihatkan hampir seluruh tubuhnya. Kata yang berulangkali diucapkannya adalah "sopan" dan "tabu".

Tidak hanya di jalan. Taman kota pun bukan tempat yang "aman" buat pandangan mata kami. Alih-alih mengajak anak-anaknya berpiknik orang tua saya malah panik ketika di sejumlah penjuru taman kami menjumpai sejumlah pasangan remaja asyik bercumbu dan berguling-guling di rumput.

Tahun 2000 ketika saya meninggalkan Indonesia, rasanya aturan tentang sensor film masih ketat. Seingat saya, tidak boleh ada adegan ciuman. Di kolam renang, banyak saya jumpai wanita yang mengenakan pakaian renang menutupi seluruh tubuhnya meski ia tidak berjilbab. Tentu, demi kesopanan.

Kang Dadang (David) sempet terkejut ketika melihat pemandangan ini di kolam renang. Mau berenang apa mau menyelam ke laut, cetus Kang Dadang. Saat berkunjung ke Jakarta adik ipar saya sempet rikuh dengan baju renang seksinya. Akhirnya dia nyemplung juga ke kolam renang setelah saya jelaskan bahwa masyarakat Indonesia, meski memegang teguh norma keyakinannya, sangat menghargai budaya masyarakat barat.

Nudis

Hidup di tengah masyarakat Indonesia saya banyak berkutat dengan sejumlah hal yang dianggap tabu. Di Perancis, apa yang dianggap tabu oleh masyarakat Indonesia malah dianggap sebagai hal yang lumrah.

Saya ingat betul betapa terkejutnya saya di musim panas pertama saya di negeri ini. Saat itu bersama Adam, anak pertama saya, tengah asyik membuat kastil dari pasir. Tiba-tiba muncul pasangan kakek nenek, usianya sekitar 50-60 tahun, menggelar handuk di depan kami. Tanpa sungkan mereka berdua dengan santai melepas seluruh pakaian mereka dan membiarkan tubuh keriputnya menjadi santapan mata kami. "Ck...ck...ck..udah tua bukannya insyaf ya? Malah makin hebohhhh!" batin saya.

Di Indonesia kita sering mendengar ungkapan "udah tua, insyaf". Rasanya ungkapan itu tak berlaku di sini. Yang lazim "diimani", justru karena sudah tua mari menikmati hidup sebanyak-banyaknya.

Pemandangan tubuh polos tanpa sehelai benang berjejer di pantai bukanlah hal yang aneh. Itu pemandangan lumrah setiap musim panas. Mereka tidak hanya sekadar duduk atau tidur berjemur. Tubuh-tubuh polos berlarian atau main raket pantai sudah akrab di mata asia saya. Jujur, saya masih sangat Asia. Jadi, tak jarang saya hanya bisa menghelas napas dan istigfar semoga anak-anak saya tahu dan mengerti arti norma kesopanan yang selalu diterapkan dalam keluarganya.

Nudis bukanlah hal yang tabu di Perancis, tapi tak semua orang ingin melakukannya. Di keluarga Kang Dadang, baju renang bikini masih ok, tidak lebih dari itu. Kenapa tidak mau nudis? Jawabnya, karena merasa tak nyaman bertelanjang dan malu. Ooo masih juga toh mengenal kata malu, kata saya.

Kumpul kebo

Hal lain. Dalam tradisi masyarakat Indonesia tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan atau kumpul kebo adalah tabu, malah bisa dibilang aib dan dosa. Karena masalah ini keluarga saya dan keluarga Kang Dadang sempet saling rikuh.

Ceritanya, tahun 2006 Adam dikhitan dan dipestakan di Jakarta. Keluarga David hadir merayakan hari gembira itu. Salah satu keluarga David yang datang ke Jakarta adalah adiknya. Lima bulan sebelumnya, adik David mendapat pacar baru dan hidup bersama.

Saat itu keluarga saya merasa rikuh jika pasangan ini tidur bersama dalam satu kamar. Orang tua saya meminta agar selama menginap di rumah mereka tidak tidur di satu kamar. Mereka menyampaikannya ke saya. Yang repot tentu saja bagaimana ngomongnya ke mereka. Di satu pihak saya memahami betul bahwa urusan seks tanpa ikatan nikah di Perancis adalah hal yang lumrah. Di pihak lain, saya juga memahami bahwa hal itu tidak lumrah alias tabu di Indonesia. Terus terang saya takut menyinggung perasaan adik ipar saya. Maka saya minta agar kakaknya saja alias suami saya yang menerangkan masalah tabu ini kepada mereka.

Kehawatiran saya sirna. Sehari sesudah Kang Dadang memberi tahu adiknya melalui telepon, sang adik menelpon saya. "Dini, kamu jangan khawatir soal itu," suaranya ramah di telinga saya. "Kami mengerti benar adat istiadat yang berlaku di negara kamu. Selama kami di rumah orang tua kamu, hanya saya yang akan tinggal di sana, sementara pacar saya, biar saja dia akan tidur di hotel. Bisa kamu carikan hotel dekat rumah orang tuamu?"

Wahhhhh...saat itu saya merasa beban di pundak saya lepas. Plong rasanya. Mereka mau mengerti. Akhirnya, kakak saya yang tinggal hanya bersebelahan dengan rumah orang tua menawarkan kamar tamunya untuk pacar adik ipar saya. Ternyata orang yang tak mengenal tradisi tabu pun bila mereka berada di suatu negara dengan mudah bisa beradaptasi dengan budaya setempat.

Terbiasa

Di Indonesia, seperti saya ungkapkan sebelumnya, adegan mesra yang memperlihatkan bagian tubuh tertentu pasti kena sensor. Di Perancis, jangankan adegan mesra, iklan sabun mandi kerapkali mempertontonkan bagian intim wanita. Dalam iklan itu si model iklan dengan santainya mengusap busa mandi keseluruh tubuh.

Karena seringnya menonton iklan macam itu, saya tidak lagi merasa terganggu dan menggangap hal itu biasa. Sementara, bapak saya berteriak panik memanggil saya saat beliau berlibur ke Perancis dan menginap di rumah kami. Iklan itu tayang pada suatu sore saat ayah saya menonton televisi. Saat itu Adam sedang bersamanya. "Ihhh, engak tahu malu. Yang nonton kan banyakan anak-anak, apalagi ini sore gini, di acara anak-anak pula. Dasar!" seru ayah saya.

Saya cuma bisa nyengir. Habis mau gimana? Memang benar omelan bapak saya, di acara anak-anak kok ya ada iklan telanjang? Tapi satu sisi iklan yang tadi tayang memang tidak seronok. Si wanita memang sedang memperlihatkan bagaimana ia senang dan menjadi segar karena keharuman sabun mandi tersebut. Rupanya, diam-diam akinya (ayah saya) menasihati cucunya tentang masalah tabu. Dan, ada yang berubah dari Adam setelah peristiwa itu: ia akan spontan menutup matanya dengan kedua tangannya tiap kali melihat tayangan televisi yang mempertontonkan adegan mesra atau bagian tubuh wanita.

"Loh Adam, kenapa kamu? Malu?" tanya saya kaget.
"Ihhhh mamah, bukannya malu, tapi tabu. Itu tadi jorok. Adam anak kecil enggak boleh lihat kata aki," jawabnya polos.

Tentu saja jawaban Adam membuat saya tertawa. Saya terkenang kepanikan orang tua saya saat kami kecil dulu. Dalam setiap kesempatan berlibur ke luar negeri mereka selalu meminta kami menutup mata dengan kedua tangan tiap kali kami berjumpa dengan papan iklan bergambar seronok. Bukannya menutup rapat mata, kami dulu malah sering curi-curi pandang. Penasaran.

Tabu yang lain

Masih banyak lagi cerita tentang sesuatu yang di Indonesia dianggap tabu, tapi tidak di sini. Di sini setiap tahun dirayakan pesta kaum homoseksual. Perayaanya berupa pawai besar-besaran sepanjang jalan dengan beberapa penari pria maupun wanita dengan kostum seksi mereka.

Hal lain yang lumrah, seorang anak wanita ketika memasuki masa pubertasnya, meminta tolong kepada ibunya atau sebaliknya si ibu yang menawarkan kepada putrinya menemui dokter kandungan untuk memilih kontrasepsi yang cocok digunakan.

Seorang teman yang anaknya duduk di bangku SMA pernah menelepon saya. Ia uring-uringan. Pasalnya, anaknya baru saja mendapat penyuluhan mengenai masa subur. Penyuluh mengingatkan kepada para remaja putra untuk tak lupa menggunakan kondom saat berhubungan intim agar tak tertular penyakit dan mencegah kehamilan dini akibat hubungan intim Cara menggunakan kondom diperlihatkan di depan murid sekolah.

"Duh, Din, kamu bisa bayangin kan? Anakku yang masih cingur udah diajarin begituan seolah hubungan intim adalah sesuatu yang sah tanpa ikatan. Duh, tobat deh aku," serunya panik.

"Tenang Mbak, biar saja dia tahu masalah ini. Nanti tinggal bagaimana kita sebagai orangtua yang harus banyak menerangkan dan mengingatkan kepada anak kita bahwa dalam hidup ini ada nilai tradisi dan agama sebagai penjaga," jawab saya menenangkannya.

Sejujurnya, saya kaget bukan main membayangkan si kecil Adam suatu hari nanti pulang sekolah menerangkan mata pelajaran yang tidak lazim menjadi bahan diskusi di keluarga Indonesia pada umumnya. Tapi mau bilang apa? Memang sudah seperti itulah adanya. Mungkin karena tak dianggap tabu maka sesuatu yang dulu terasa aneh dan bikin mata saya mau loncat kini beberapa hal menjadi bagian yang tak terlalu mengejutkan lagi. Dan karena menjadi lumrah maka tak ada istilah curi-curi pandang atau pura-pura membenci dan tak setuju tapi melakukan secara sembunyi.

Satu hal yang lucu. Saya pernah bertanya pada dosen saya, apa yang tabu bagi orang Perancis. Tahu apa jawabnya? Umur. "Kalau kamu menanyakan umur selain untuk pekerjaan atau administrasi kepada seseorang apalagi orang dewasa maka kamu akan dianggap tak sopan, tabu!" terang dosen saya.

Memperlihatkan bagian intim tidak tabu, tapi umur tabu. Aya aya wae....

0 komentar:

Posting Komentar